Beranda | Artikel
Terjerumus Hingga Titik Nadir karena Berfatwa Menyimpang Masalah Hijab
Senin, 24 Februari 2020

Jilbab adalah syariat Islam yang mulia bagi muslimah, maka setiap muslim wajib meyakini wajibnya syariat ini

Fatwa Menyimpang Terkait Hijab

Baru-baru ini muncul seseorang yang mengatakan bahwa boleh bagi perempuan muslimah di zaman modern ini untuk menampakkan sebagian dari rambut, leher, dan telinganya. Untuk menyokong pendapatnya tersebut, dia membawakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَقُل لِلمُؤمِنـٰتِ يَغضُضنَ مِن أَبصـٰرِهِنَّ وَيَحفَظنَ فُروجَهُنَّ وَلا يُبدينَ زينَتَهُنَّ إِلّا ما ظَهَرَ مِنها

“Katakanlah (wahai Nabi) kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya.’” [Surat an-Nur: 31]

Apa yang dimaksud dengan “yang biasa nampak daripadanya” pada ayat di atas? Jumhur ulama’, termasuk di antaranya adalah madzhab Syafi’iy, berpendapat bahwa yang dimaksud itu adalah wajah dan telapak tangan jika tidak khawatir akan timbul fitnah. Imam Abu Hanifah, ats-Tsauriy, dan al-Muzaniy rahimahumullah berpendapat bahwa kaki perempuan juga termasuk, sehingga itu bukanlah aurat, walaupun ada salah satu riwayat dari Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa itu adalah aurat. Sedangkan Abu Yusuf rahimahullah, salah satu dari dua murid Abu Hanifah yang paling terkenal, berpendapat bahwa lengan perempuan dan bahkan separuh betisnya juga termasuk, sehingga itu juga bukanlah aurat, karena menutupinya akan menimbulkan kesulitan.

Kemudian dengan berbekal pendapat Abu Yusuf tersebut, tanpa memperhatikan apakah pendapat itu memiliki dalil yang kuat atau tidak, orang tersebut kemudian mencoba melakukan qiyas antara lengan dan separuh betis perempuan yang dibolehkan oleh Abu Yusuf untuk terlihat, dengan rambut, leher, dan telinga perempuan di zaman ini. Kata dia: Jika Abu Yusuf membolehkan lengan dan separuh betis perempuan karena menutupinya itu akan menimbulkan kesulitan, maka demikian pula di zaman ini, menutupi rambut, leher, dan telinga itu juga akan menimbulkan kesulitan. Sehingga akhirnya dia pun berfatwa bolehnya rambut, leher, dan telinga perempuan untuk terlihat.

Baca Juga: Melepas Jilbab Berarti Melepas Kemuliaan Wanita

Menyelisihi Ijma’ Itu Tercela

Ketahuilah bahwa sesungguhnya fatwa tersebut telah menyelisihi ijma’ para ulama’ mujtahidin tentang aurat perempuan. Akan tetapi, sebelum kita membahas lebih jauh, kita ingin mengulas terlebih dahulu tentang apa itu ijma’ dan kewajiban untuk mengikuti ijma’ dan tidak boleh menyelisihinya.

Imamul-Haramain Abul-Ma’aliy ‘Abdul-Malik ibn ‘Abdillah al-Juwainiy rahimahullah menjelaskan definisi ijma’ dalam perkataan beliau,

اتفاق علماء العصر على حكم الحادثة.

“Kesepakatan para ulama’ mujtahidin pada sebuah generasi tentang hukum sebuah permasalahan.” [Lihat: al-Waraqat fiy Ushulil-Fiqh, karya Imamul-Haramain Abul-Ma’aliy ‘Abdul-Malik ibn ‘Abdillah al-Juwainiy]

Para ulama’ juga menjelaskan bahwa ketika dalam sebuah generasi, para ulama’ mujtahidin di generasi tersebut bersepakat dalam suatu permasalahan, maka tidak boleh bagi para ulama’ mujtahidin di generasi berikutnya untuk memunculkan pendapat ke dua dalam permasalahan tersebut. Itu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

إن الله لا يجمع أمتي — أو: أمة محمد صلى الله عليه وسلم — على ضلالة.

“Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku — atau: umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam — di atas kesesatan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidziy (no. 2167)]

Maka, ketika seorang ulama’ di generasi berikutnya memunculkan pendapat kedua, sama saja dia berkata bahwa seluruh ulama’ mujtahidin di generasi sebelumnya telah berada di atas kesalahan dalam masalah tersebut. al-Qadhiy Abu Ya’la rahimahullah berkata,

الإجماع حجة مقطوع عليها، يجب المصير إليها، وتحرم مخالفته، ولا يجوز أن تجتمع الأمة على الخطأ.

“Ijma’ itu adalah hujjah yang sangat kuat, wajib untuk berpendapat dengannya, tidak boleh menyelisihinya, dan umat ini tidak akan bersepakat di atas kesalahan.” [al-’Uddah fiy Ushulil-Fiqh, karya al-Qadhiy Abu Ya’la (4/1058)]

Demikian pula, para ulama’ juga mewajibkan bagi siapa pun yang hendak berijtihad untuk mengetahui mana masalah yang telah ada ijma’ di dalamnya dan mana masalah yang ada khilaf di dalamnya. Ibnun-Najjar al-Futuhiy rahimahullah ketika sedang membahas tentang syarat-syarat ijtihad, beliau berkata,

ويُشترط فيه أيضا: أن يكون عالما بالمجمع عليه والمختلف فيه حتى لا يفتي بخلاف ما أُجمع عليه، فيكون قد خرق الإجماع.

“Disyaratkan juga bagi seorang mujtahid: Bahwa dia harus mengetahui tentang permasalahan yang telah ada ijma’ di dalamnya dan permasalahan yang memang ada khilaf di dalamnya, agar dia tidak berfatwa menyelisihi apa yang telah disepakati, sehingga pada kondisi itu dia telah melanggar ijma’.” [Syarhul-Kaukabil-Munir, karya Ibnun-Najjar al-Futuhiy (4/464)]

Baca Juga: Makna Hijab, Khimar dan Jilbab

Ijma’ Ulama’ dalam Masalah Ini

Para ulama’ mujtahidin telah memiliki ijma’ bahwa rambut perempuan merdeka itu adalah aurat. Ibn Hazm rahimahullah berkata,

واتفقوا على أن شعر الحرة وجسمها حاشا وجهها ويدها عورة.

“Para ulama’ bersepakat bahwa rambut perempuan merdeka dan badannya, kecuali wajahnya dan tangannya, itu adalah aurat.” [Maratibul-Ijma’, karya Ibn Hazm (hlm. 53)]

Dan perkataan Ibn Hazm ini tidak dikritik oleh Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahumallah dalam kitab beliau Naqdu Maratibil-Ijma’, yang secara khusus memang ditulis untuk mengkritik masalah-masalah ijma’ yang disebutkan oleh Ibn Hazm rahimahullah dalam kitab beliau Maratibul-Ijma’.

Demikian pula, terkait telinga perempuan, disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,

اتفق الفقهاء على أن الأذن في المرأة من العورة، ولا يجوز إظهارها للأجنبي.

“Para fuqaha’ sepakat bahwa telinga perempuan itu termasuk aurat, dan tidak boleh menampakkannya kepada ajnabiy (orang asing, yaitu yang bukan suami dan bukan pula mahram).” [al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (2/375)]

Maka, dari perkataan para ulama’ ini, jelaslah bahwa apa yang difatwakan oleh orang di atas adalah sebuah kebathilan, karena fatwanya tersebut bertumpu pada qiyas yang menyelisihi ijma’. Ketika qiyas dan ijma’ berbenturan, maka ketahuilah bahwa qiyas itu adalah qiyas fasid, yaitu qiyas yang rusak karena menyelisihi hujjah yang lebih kuat, yaitu ijma’. Ketika sedang membahas tentang qawadihul-’illah, yaitu hal-hal yang dapat merusak ‘illah sehingga akhirnya dapat merusak qiyas, Ibnun-Najjar al-Futuhiy rahimahullah berkata,

الثاني: من القوادح: فساد الاعتبار، وهو مخالفة القياس نصا أو إجماعا.

“Yang kedua adalah fasidul-i’tibar, yaitu ketika ia menyelisihi nash atau ijma’.” [Syarhul-Kaukabil-Munir, karya Ibnun-Najjar al-Futuhiy (4/236)]

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengikuti ijma’ para ulama’ mujtahidin yang sudah ada sejak lama dalam masalah ini, dan tidak menghiraukan fatwa-fatwa menyimpang yang bertentangan dengannya.

Baca Juga: Melamar Wanita Yang Tidak Berjilbab Atau Ber-Tabarruj

Apa yang Harus Kita Lakukan Ketika Kita Tidak Tahu Hukum Sesuatu?

Dalam permasalahan ijtihadiyyah yang para ulama’ mujtahidin itu berbeda pendapat, kita diperintahkan untuk mengikuti pendapat yang dalilnya paling kuat, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَإِذا جاءَهُم أَمرٌ مِنَ الأَمنِ أَوِ الخَوفِ أَذاعوا بِهِ ۖ وَلَو رَدّوهُ إِلَى الرَّسولِ وَإِلىٰ أُولِى الأَمرِ مِنهُم لَعَلِمَهُ الَّذينَ يَستَنبِطونَهُ مِنهُم

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil-amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang bisa beristinbath (bisa menarik kesimpulan yang benar dari dalil) akan bisa mengetahuinya.” [Surat an-Nisa’: 83]

Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mengembalikan perkaranya kepada orang yang berilmu, yang bisa beristinbath dari dalil untuk mencapai kesimpulan hukum atas permasalahan kontemporer yang terjadi. Dan pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan kata kerja fi’l mudhari’ yaitu يستنبطون (yastanbithun), yang dalam bahasa Arab menunjukkan bahwa perbuatan ini terus berlangsung dan terus ada walaupun kita saat ini berada di zaman muta’akhkhirin. Ini menunjukkan bahwa ijtihad itu tidak hanya terbatas di zaman mutaqaddimin, tetapi tetap ada di zaman ini sebagaimana permasalahan kontemporer juga terus bermunculan di zaman ini, walaupun tentu kita sepakat bahwa ulama’ mujtahidin di zaman ini tidaklah sama derajatnya dengan para imam mujtahidin di zaman dulu, seperti imam madzhab yang empat.

Adapun jika masih belum bisa menganalisa dalil menggunakan ushul dan qawa’id, maka kita diperintahkan untuk bertanya kepada orang yang berilmu, yang paling kita percaya keilmuwannya dan ketakwaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَسـَٔلوا أَهلَ الذِّكرِ إِن كُنتُم لا تَعلَمونَ

“Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” [Surat an-Nahl: 43]

Baca Juga: Jilbab Syar’i Itu Lebar

Tercelanya Tatabbu’ Rukhash atau Fatwa Shopping

Di antara perbuatan tercela yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah mencari-cari fatwa yang paling mudah dan paling ringan dalam sebuah permasalahan — atau bahkan dalam setiap permasalahan — yang paling mencocoki seleranya. Mereka tidak bertanya kepada para ulama’ yang terpercaya mengenai pendapat yang terkuat dalam masalah tersebut, akan tetapi mereka akan mengumpulkan fatwa-fatwa para ulama’ dari berbagai madzhab lalu mencari mana yang paling sesuai dengan hawa nafsunya, walaupun pendapat tersebut bisa jadi adalah pendapat yang syadzdz (aneh, anomali). Sebagaimana pada kasus kita ini, sampai mencari-cari pendapat yang paling mendekati dengan selera dan hawa nafsunya (yaitu, pendapat Abu Yusuf rahimahullah), lalu menerapkan qiyas atasnya walaupun akhirnya tampak jelas kebathilannya karena qiyasnya tersebut ternyata menyelisihi ijma’. Fatwa shopping seperti ini disebut oleh para ulama’ dengan istilah tatabbu’ rukhash (mencari rukhshah / keringanan dalam setiap permasalahan), dan para ulama’ telah mencelanya.

Ibn ‘Abdil-Barr meriwayatkan dari ‘Abdul-Warits, dari Qasim ibn Ashba’, dari Ahmad ibn Zuhair, dari al-Ghalabiy, dari Khalid ibn al-Harits, bahwa Sulaiman at-Taimiy, rahimahumullah, berkata,

لو أخذتَ برخصة كل عالم اجتمع فيك الشر كله.

“Jika engkau mengambil keringanan dari setiap ulama’ maka engkau akan mengumpulkan keburukan seluruhnya.” [Jami’ Bayanil-’Ilm wa Fadhlih, karya Ibn ‘Abdil-Barr (no. 1766)]

Kemudian Abu ‘Umar (yakni, Ibn ‘Abdil-Barr) rahimahullah berkata,

هذا إجماع لا أعلم فيه خلافا والحمد لله.

“Ini adalah ijma’, yang aku tidak tahu adanya khilaf di dalamnya, wal-hamdu lillah.” [Jami’ Bayanil-’Ilm wa Fadhlih, karya Ibn ‘Abdil-Barr (no. 1767)]

adz-Dzahabiy rahimahullah berkata,

من تتبع رخص المذاهب وزلات المجتهدين فقد رقَّ دينه.

“Barangsiapa yang mengikuti rukhash (keringanan) dari madzhab-madzhab dan mengikuti ketergelinciran para mujtahidin maka agamanya telah menipis.” [Nuzhatul-Fudhala’ Tahdzib Siyar A’lamin-Nubala’, karya Muhammad ibn Hasan ibn ‘Aqil Musa asy-Syarif (hlm. 619)]

Saking tercelanya fatwa shopping itu sampai-sampai terkenal sebuah perkataan di kalangan para ulama’,

من تتبع الرخص تزندق.

“Barangsiapa yang selalu mencari-cari rukhshah (keringanan) maka dia telah zindiq.” [Lihat: Waqfat ‘inda Qaulihi ‘Azza wa Jalla: Wa Laa Taqfu Ma Laisa Laka Bihi ‘Ilm, karya ‘Abdul-Karim ibn Hamud ibn ‘Abdillah at-Tuwaijiriy]

Baca Juga:

Semoga kita dihindarkan oleh Allah dari melakukan amalan orang-orang zindiq.

@ Dago, Bandung, 23 Jumada al-Akhirah 1441 H

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/54767-terjerumus-hingga-titik-nadir-karena-berfatwa-menyimpang-masalah-hijab.html